Latar Belakang
Kekuasaan Kaum Muslimin adalah pada abad-abad pertama munculnya Islam setelah tuntas kemenangan yang Allah berikan kepada ummat Islam. Setelah sempurna kemenangan itu, Kaum Muslimin bergerak ke seluruh pelosok dunia untuk berdakwah ke jalan Allah dan mnyebarkan Islam, menegakkan keadilan, memudahkan perdagangan, dan mengajak manusia untuk menyembah Allah satu-satunya, tanpa menyembah benda-benda mati, roh-roh halus dan sebagainya, karena semua hamba adalah hamba-hamba Allah dan semua negeri adalah negeri-negeri Allah. Semuanya itu harus ada pembuktian yang menunjukkan bahwa kekuasaan itu dilakukan oleh para mubaligh-mubaligh/ulama.
Terutama di daerah Jawa Barat yang sampai sekarang masih memakai tradisi dalam penyembahan benda-benda mati, roh-roh halus dan sebagainya yang dipercayai dapat membawa keberuntungan, bukan malapetaka. Mereka percaya bahwa dengan melakukan hal itu, kehidupan mereka akan berlangsung baik nyaman. Sehinnga untuk dapat mempertahankan keyakinan yang sudah mereka yakini, adapun yang rela untuk pergi ke daerah lain.
Oleh sebab itu, banyak para mubaligh-mubaligh/ulama yang menyebarkan agama Islam dengan berbagai cara. Ada yang melalui individu, perdagangan, pernikahan, tradisi, bahkan sampai mendirikan institusi. Mereka lakukan itu semua agar mereka dapat meyakini kebenaran satu agama yakni agama Islam dan meninggalkan hal-hal yang dilarang dalam agama, walaupun memalui beberapa tahapan untuk mencapai itu semua.
1.2 Batasan Masalah
1. Kapan Proses Islamisasi di Jawa Barat dilakukan ?
2. Siapa saja ulama yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat ?
3. Di daerah-daerah Jawa Barat mana saja yang dilakukan para ulama dalam menyebarkan agama islam ?
4. Apa saja proses yang dilakukan para ulama untuk menyebarkan agama Islam di Jawa Barat ?
1.3 Tujuan Yang Ingin Dicapai
2. Untuk mengetahui Proses Islamisasi di Jawa Barat dilakukan
3. Untuk mengetahui ulama yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat
4. Untuk mengetahui daerah-daerah Jawa Barat yang dilakukan para ulama dalam menyebarkan agama islam
5. Untuk mengetahui proses yang dilakukan para ulama untuk menyebarkan agama Islam di Jawa Barat
1.4 Metode Penulisan
Dalam penyelesaian penyusunan makalah ini kami menggunakan studi kepustakaan, yaitu dengan mencari buku-buku yang berhubungan dengan Lembaga Keuangan Bukan Bank serta mengambil beberapa literatur dari internet.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari tiga bab yaitu pendahuluan, pembahasan dan penutup.
Pada bab satu, kami sajikan pendahuluan yang berisi latar belakang yang merupakan alasan kami untuk membahas judul makalah, yang kedua adalah pembatasan makalah agar pembahasan makalah ini tidak simpangsiur adanya. Yang ketiga adalah tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini. Selanjutnya, metode penulisan yang kami gunakan. Dan yang terakhir adalah sistematika penulisan makalah.
Di dalam bab dua, kami sajikan pembahasan makalah sesuai dengan judul yang telah ditentukan. Yang terakhir, bab tiga yang menyajikan kesimpulan sebagai penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PROSES ISLAMISASI
Proses perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui gerbang Jawa Barat yakni Cirebon. Proses ini menjadi mungkin Karena kondisi kekuasaan politik yang kuat waktu itu di Jawa adalah Jawa Tengah. Tetapi islamisasi di Indonesia melaui pintu barat. Oleh Karena itu mempunyai kemungkinan besar bila masuknya Islam dari pintu gerbang barat. [1]
Perlu ditambahkan disini bahwa penyebaran Islam melalui jalur perniagaan, sehingga tidak pernah terjadi agresi militer ataupun agama. Dalam penyebaran ini Islam tidak mengenal adanya organisasi missi ataupun semacam zending. J.C. van leur dalam hal ini menjelaskan bahwa setiap pedagang islam merangkap sebagai da’i. Itulah sebabnya masuk dan meluasnya Islam di Indonesia melalui jalur perniagaan.
Pada abad ke-13 dan abad ke-14M, kegiatan perdagangan pada jalur pelayaran tersebut cukup ramai. Para pedagang muslim mengunjungi pelabuhan yang terdapat di pesisir utara pulau jawa antara lain banten, kalapa, indramayu (cimanuk), Cirebon, tuban, gresik, dan jepara.[2] Pada abad ke-14 tidaklah berarti islam baru masuk, melainkan telah meluas di Jawa Barat. Proses perluasan ini diawali dengan masuknya sejak abad ke-7.2
Sebagian daerah galuh berada pada lintasan pelayaran niaga. Ditinjau dari letak geografisnya itu, daerah Cirebon adalah daerah yang lebih dahulu mendapat sentuhan agama islam daripada daerah yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada perempat pertama abad ke-15 M, Pelabuhan Muhara Jati dan pasar Pasambangan sering disinggahi oleh para pedagang dari berbagai negeri atau daerah seperti Parsi, Arab, India, Pasai, dan lain-lain. Sebagian besar dari mereka adalah saudagar muslim. Sebagai muslim, para saudagar itu akan berusaha memperkenalkan agama Islam kepada orang-orang di daerah setempat yang belum masuk islam.
Pada mulanya Islam disebarkan di Pantai Utara Jawa melalui kontak dagang, kemudian di sana disebarkan ke pedalaman. Dengan kontak itu pula keuntungan ekonomi mengalir dari perniagaan yang dikuasai orang-orang islam. Memang keuntungan besar dari perdagangan sangat tergantung dengan adanya kontak dagang dengan luar negeri yang pada waktu itu terletak pada jaringan perdagangan dengan orang-orang islam.
Masuk dan berkembangnya islam di daerah galuh semakin kuat, setelah Syarif Hidayat datang di Cirebon dan menjadi penyebar agama Islam. Kedatangan Syarif Hidayat ini menyebabkan agam Islam tidak hanya menyebar di daerah Cirebon, tetapi masuk ke pedalaman Galuh dan jawa barat.
Pertimbangan lain dari keterangan Tome Pires yang menjelaskan keadaan Jawa barat pada abad ke-16. Bahwa pada 1513 penduduk Cirebon dan cimanuk (Indramayu) sudah beragama Islam.
Keterangan Tome Pires memberikan ilustrasi kepada kita tentang peranan Jawa Barat dalam jaringan perniagaan di Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya. Tidak saja sebagai wilayah yang penting, tetapi juga ikut menentukan rute dan persinggahan kapal dagang. Sekaligus memberikan informasi tentang meluasnya Islam di Jawa barat pada saat itu.[3]
Penyebaran agama Islam pada tahap awal dilakukan pula oleh dua orang guru agama islam yang datang di daerah Jawa Barat. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari menyebutkan adanya dua orang guru agama islam yaitu Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Amparan Jati (daerah Gunung Jati sekarang). Menurut naskah tersebut, Syekh Quro adalah Syekh Hasanuddin, putera Syekh Yusuf Sidiq seorang ulama terkenal dari negeri Campa. Seorang murid Syekh Quro adalah Nyai Subanglarang, puteri Ki Jumamjanjati (Ki Gede Tapa), penguasa pelabuhan Muhara Jati pengganti Ki Gedeng Sindangkasih. Atas kebaikan Ki Jumajanjati, Syekh Hasanuddin mendirikian pondok pesantren di Karawang. Dalam naskah itu, Syekh Nurjati disebut pula Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Idhopi. Salah seorang muridnya ialah Walangsungsang, putera Nyai Subanglarang dari Raja Sunda, Prabu Siliwangi. Walangsungsang inilah yang menjadi perintis pembangunan kota Cirebon pada sekitar 1455M.
Syekh Quro dan Syekh Nurjati membangun pesantren di daerah pemukimannya masing-masing. Munculnya pesantren berarti adanya perkembangan dalam penyebaran agama islam. Penyebaran agama islam yang semulanya berlangsung dari individu ke individu, kemudian berkembang menjadi satu lembaga, yaitu pesantren. Dengan kata lain berdirinya pesantren berarti terjadinya pembentukan kader penyebar agama islam. Santri-santri yang telah memahami ajaran islam kemudian menyebaran ajaran itu di lingkungan tempat tinggal masing-masing atau kedaerah lain atas perintah gurunya.
Carita Puraka Caruban Nagari juga menyebutkan tentang kegiatan perniagaan di pantai Cirebon sebelum tahun 1470M. Naskah itu mencerikan, bahwa sebelum tempat yang sekarang menjadi Cirebon dihuni orang, tidak jauh di sebelah utara tempat itu terdapat kehidupan masyarakat. Masyarakat inilah cikal bakal penduduk Cirebon. Di sana terdapat empat kegiatan perdagangan yaitu Pelabuhan Muhara Jati dan pasar Pasembangan. Di sebelah utaranya terdapat daerah yang bernama Singapura, dan disebelah Timur adalah Jayapura. Di sebelah selatan bagian pedalaman terletak Caruban Girang. Kiranya masyarakat di tempat-tempat itulah yang diislamkan oleh Haji Purwa dan Syekh Nurjati bersama santrinya.
Penyebaran agama islam di Cirebon, khususnya di Cirebon Pantai (Caruban Hilir), berkaitan erat dengan peranan pelabuhan Muhara Jati dengan Pasar Pasembangan. Kedatangan saudagar-saudagar muslim di pelabuhan Muhara Jati dan Pasar Pasembangan, memungkinkan penduduk setempat berkenalan dengan agama Islam, lebih-lebih bila para saudagar muslim itu singgah untuk waktu cukup lama, menunggu saat yang baik untuk melanjutkan pelayarannya. Dalam kesempatan itu, para saudagar muslim memperkenalkan agama mereka kepada penduduk yang belum menganut agama islam.Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa, bahwa masuk dan menyebarnya agama islam di daerah Cirebon terjadi pula melalui kontak niaga.
Salah satu bukti yang menunjukkan ramainya kegiatan pelayaran di daerah pelabuhan Muhara Jati ialah didirikannya mercusuar di bukit Amparan Jati, suatu tempat tertinggi di dekat pelabuhan itu. Mercusuar ini dibangun pada tahun 1415M oleh panglima Cina Wai Ping, dan Laksamana Te Ho beserta pengikut mereka. Pendiri mercusuar itu adalah rombongan untusan Cina dari dinasti Ming pimpinan Laksamana Cheng Ho yang sedang mengadakan muhibah ke negara-negara Asia Tenggara. Orang-orang Cina yang datang ke negara-negara Asia Tenggara pada abad ke-15 dan abad ke-16M banyak yang sudah menganut agama islam, Orang-orang Cina Islam yang turut dalam rombongan Laksamana Cheng Ho antara lain Ma Huan dan Feh Tsin.
Selama pembangunan mercusuar di bukit Amparan Jati mungkin terjadi kontak antara orang-orang Cina dengan penduduk di daerah setempat, termasuk kontak dalam masalah agama islam. Terjadinya kontak antara penduduk Cirebon dengan orang-orang islam di berbagai negara, menyebabkan dalam perkembangannya masyarakat islam Cirebon menyerap unsur-unsur budaya bangsa lain, baik yang bercorak islam maupun budaya asing. Dengan kata lain, sifat heterogen masyarakat Cirebon bukan hanya hal suku bangsa, tetapi juga dalam hal budaya termasuk budaya Islam. Pada tahap selanjutnya, penyebaran dan pembentukan kekuatan islam di daerah Cirebon semakin meningkat. Faktor utama yang menyebabkannya adalah munculnya penguasa di daerah itu, yang sekaligus berperan dalam penyebaran agama Islam.
Kahane menyatakan bahwa Islam menyebar secara bertahap melalui guru-guru agama dan institusi sehingga menjadi agama mayoritas di Jawa. Difusi atau konversi Islam di Indonesia dapat berjalan dengan lancar karena sejumlah factor. Pertama, Islam datang di Jawa lebih dahulu dibanding Kristen dan para pedagang muslim menancapkan kekuasaan ekonomi dan politiknya di sana. Kedua, Islam dianggap sebagai agama yang mudah untuk dilaksanakan. Ketiga, Terdapat kemiripan ajaran Islam dengan agama tradisional Jawa; sufi dan magis yang ada di Islam pada saat itu sama dengan kepercayaan animis dan Hindu. Keempat, ada kemungkinan hidup bersama (koeksistensi) anatara agama Jawa dan Islam. Kelima, adanya kegunaan instrumental yaitu hubungan dagang, pembangunan, dan pertukaran adalah alasan para pedagang untuk masuk islam. Kenam, Taktik penetrasi Islam diantaranya alah para pedagang Arab menikah dengan wanita setempat dan mengislamkan para pembantunya. Selanjutnya, para ulama datang untuk mendirikan institusi islam yaitu mesjid dan pesantren. Ketujuh, Islam dijadikan alat untuk melawan Kolonial Barat. Kedelapan, penyebaran Islam akibat kevakuman religi dan budaya serta institusi karena kehancuran sentralisasi kerajaan, yaitu kehancuran Sriwijaya pada abad ke-11 dan kehancuran Majapahit ada bad ke-16.
Islam mengkompromikan kepentingan para pedagang dan para pengusaha lokal. Oleh karena itu, ada motivasi politik dan ekonomi di sana. Islam dengan sufinya mengisi kevakuman kultural dan struktural sehingga diterima oleh koalisi pedagang dan penguasa lokal yang ingin meningkatkan kekuatan ekonomi dan politik mereka.
Penyebaran agama Islam di Cirebon Hilir lebih pesat daripada di Cirebon Girang yang dipelopori oleh Haji Purwa, karena Islamisasi di Cirebon Hilir tidak hanya dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana, tetapi dilaksanakan pula oleh saudagar-saudagar muslim yang singgah di pelabuhan Muhara Jati.[4]
Sunan Gunung Jati
Islamisasi di daerah Galuh semakin meningkat setelah Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon pada tahun 1470M. Selain singggah di Pasai setelah tiba di Indonesia, Sunan Gunung Jati datang ke Banten. Di sini dilihatnya agama Islam telah bekembang sebagai hasil dari dakwah Sunan Ampel Surabaya. Sebelum datang ke Cirebon, dia terlebih dahulu menemui Sunan Ampel di Ampeldenta (Gresik). Sunan Ampel selaku guru besar agama Islam di Jawa dan pimpinan para wali, menugaskan Syarif Hidayat untuk menyebarkan agama islam diseluruh wilayah Jawa bagian barat dan berkedudukan di bukit Amparan Jati, Cirebon. Di sana dia mendirikan pesantren. Sebagai guru agama, dia bergelah Syekh Maulana Jati (Syekh Jati), dan sebagai wali yang kesembilan dia bergelar Sunan Gunung Jati.
. Adapun gelar Susuhunan Jati diperoleh setelah 9 tahun kemudian ketika diangkat sebagai Tumenggung di Cirebon. Selain itu Sunan Gunung Jati juga disebut sebagai raja pendeta yang pengertiannya sama dengan khalifah. Jabatan ini dipegangnya selama 47 tahun, dan kemudian diserahkan kepada putranya yakni Pangeran Pasarean (1526).
Setelah penyerahan kekuasaan kepada putranya, Sunan Gunung Jati mengadakan aktivitas dakwah di Jawa Barat. Hasil dakwah dapat kita lihat dari hasil penyerangan pendudukan sunda kelapa yang gemilang, sehingga memudakan untuk mematahkan usaha penjajahan Portugis adan penyebaran agamanya. Tugas penyebaran Islam di Jawa barat ini masih dapat diteruskan hingga akhir hayatnya pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati Bukit Sembung, Cirebon. Makam ini sampai sekarang dapat kita lihat sebagai makam Sunan Gunung Jati.
Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470M. Dia berangkat ke tanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Di sana beliau bersama ibunya disambut gembira oleh Pangeran Cakra Buana. Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal di Pasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syekh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dikawinkan dengan putri Cakra Buana pada tahun 1479M dengan diangkatnya dia sebagai pangeran dakwah Islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain.[5]
Sunan Gunung Jati berhasil melaksanakan tugas dan kewajibannya mengislamkan masyarakat Galuh dan Jawa bagian barat dengan gemilang. Keberhasilan Sunan Gunung Jati tidak terlepas dari sifat dan sikap serta tindakannya yang syarat dengan kepemimpinan tradisional, khususnya kepemimpinan dalam keagamaan. Dia adalah figure manusia ideal dalam ukuran zamannya.
Kurang lebih dua tahun setelah memegang pemerintahan daerah Cirebon (1481/1482), Syarif Hidayatullah (Susuhunan Jati) mengislamkan daerah Luragung dan Kuningan.
Penyebaran agama islam di Kuningan menunjukkan perkembangan yang meningkat. Upaya penyebaran agama islam dilanjutkan oleh para pengusa dan para ulama lokal Kuningan. Hal ini seperti ditunjukkan oleh keberadaan tokoh ulama yang bernama Haji Hasan Maulani dan desa Lengkong Kuningan. Beliau dikenal pula dengan sebutan Eyang Hasan Maulani atau Eyang Hasan Menado karena meninggla di Menado. Beliau dianggap sebagai salah satu tokoh ulama yang menurunkan ulama-ulama lainnya di Kuningan.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati, mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Setelah Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650, dan digantikan oleh putranya yang bergelar Panembahan Gerilaya. Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai masa kekuasaan pangeran Gerilaya ini. Sepeninggal Gerilaya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah oleh kedua putranya, Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Panembahan Sepuh memimpin Kesultanan Kesepuhan sebagai rajanya yang pertama dengan gelar Syamsuddin sementara Panembahan Anom memimpin kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin.[6]
2.2 PENYEBARAN ISLAM DI SUMEDANG
2.2.1 KERAJAAN SUMEDANG SEBELUM ISLAM
Masyarakat Sumedang, sebelum Islam, mempercayai Agama Hindu-Budha. Disekitar Gunung Tampomas, daerah Cilangkap dua buah ditemukan sebuah area Ganesha. Ganesha ialah putra dewa Siwa. Dewa Siwa banyak dipuja sebagai dewa tertinggi dan dipuja dalam berbagai fungsi. Masa Hindu dan Budha berakhir setelah Pangeran Santri menikah dengan Nyi Mas Ratu Pucuk Umun Sumedang dan mengislamkan para pemangku kerajaan sumedanglarang. Islam masuk ke Sumedang secara kenegaraan dan secara politik kurang lebih pada abad ke-15.
2.2.2 KERAJAAN SUMEDANG ISLAM
Dalam tradisi Sumedang menyatakan bahwa pelopor penyebaran agama Islam di Sumedanglarang adalah Maulana Muhammad atau Pangeran Palakaran. Pada tahun 1504, Pangeran Pakalaran menikah dengan seorang puteri Sindangkasih. Dari perkawinan tersebut lahir Ki Gedeng Sumedan atau dikenal dengan nama Pangeran Santri pada tahun 1505. Pangeran Santri menukah dengan Ratu Satyasih, putrid Sunan Corenda yang meneruskan ayahnya menjadi penguasa Sumedanglarang karena Styasih menyerahkan tampuk kekuasaan kepadanya. Pangeran Santri kemudian dinobatkan sebagai penguasa Sumedanglarang pada tanggal 21 Oktober 1530. Dia adalah penguasa Sumedanglarang pertama yang menganut agama Islam, dengan status bawahan Cirebon. Pangeran Santri wafat pada tanggal 2 Oktober 1579 dan dimakamkan di Dayeuh Luhur.
Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun
Daerah pesisir Cirebon merupakan pusat dari kegiatan-kegiatan ekonomi perdagangan yang berlangsung di Pelabuhan juga merupakan pusat penyebaran agama dan kekuasaan Islam. Pada abad ke-16, di Kerajaan Sumedanglarang sudah mulai memasuki sistem pemerintahan yang bercorak Islam. Pemerintahan Islam dimulai sejak Pangeran Santri menikah dengan Satyasih yang bergelar Ratu Pucuk Umun.
Dari Cirebon Islam tersebar ke daerah pedalaman, termasuk Sumedang yang menjadi jalur lalu lintas antara Cirebon-Bandung. Pada pertengahan abad abad ke-16, agam Islam sudah mewarnai perkembangan Sumedanglarang. Salah satu keturunan Raja Sumedanglarang yang telah masuk Islam pada waktu itu adalah Ratu Pucuk Umun. Dia menikah dengan Pangeran Santri yang bergelar Ki Gedeng Sumedang (1505-1579M). Disamping menjadi penguasa Sumedanglarang, dia bersama istrinya Ratu Pucuk Umun menyebarkan ajaran Islam. Pengganti Pangeran Santri adalah Pangeran Angkawijaya, anak Pangeran Santri dari Ratu Satyasih yang dilahirkan pada tahun 1558. Setelah berusia 23 tahun, dia dinobatkan menjadi raja pada tanggal 18 November 1580, dengan gelar Ulun Sumedanglarang.
2.3 PENYEBARAN ISLAM DI TASIKMALAYA
Penyebaran Islam ke daerah pedalaman dilakukan oleh para mubalig yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi tersyiarnya Islam dan mereka bermukim di wilayah ini. Ternyata agama islam dapat diterima dengan relative mudah, cepat, dan luas oleh masyarakat Sunda. Setelah dianut, agama islam itu tidak dilepaskan lagi oleh umumnya orang Sunda hingga sekarang ini. Setelah agama islam telah banyak dan lama diterima dan dianut oleh penduduk satu tempat, maka untuk memenuhi keperluan pengetahuan ajaran agama, etika kehidupan Islami, dan praktik peribadatan kaum Muslimin setempat, terutama kaum anak-anak dan orang mudanya, maka di tempat itu dibukalah lembaga pendidikan agama dalam bentuk pesantren. Pesantren awal yang didirikan di Tatar Sunda adalah pesantren Quro di Karawang dan pesantren Amparan, terletak sekitar 5km sebelah utara kota Cirebon.
Walaupun bentuk dan isinya tidak diketahui dengan jelas, sumber tradisional lokal mengungkapkannya dalam konteks Islami di Tatar Sunda sebelum kota pelabuhan Cirebon terwujud. Adapun di daerah pedalaman pesantren yang pertama didirikan adalah pesantren Pamijahan di Tasikmalaya Selatan yang didirikan oleh Syekh Abdul Muhyi sekitar pada abad ke-17. Setelah itulah muncul pesantren-pesantren d sejumlah tempat di Tatar Sunda hingga masa sekarang baik yang berusia lama maupun yang umurnya sebentar.
Ada dua hal yang menarik dari profil pesantren di Tatar Galuh pada masa awal Islamisasi sampai abad ke-19. Pertama, terdapat kemiripan pola dan karakter antara pesantren dengan mandala/kebuyuran, Keduanya menempati lokasi tertentu yang terpisah dari pergaulan masyarakat yang luas, pola hidup penghuninya mandiri, otoritas guru dominan, dan penggunaan naskah sebagai sarana bahan ajar. Contoh yang mencolok adalah pesantren di Pamijahan yang didirikan dan dikelola Syekh Abdul Muhyi. Di samping lokasinya terpencil di daerah pedalaman, pesantren ini juga dilengkapi dengan gua (Gua Saparwadi) sebagai prasarana ibadah ibadah dan pendidikan layaknya sebuah pertapaan.
Sebelum masyarakat Pamijahan menganal Islam dan sebelum datangnya Syekh Abdul Muhyi ke Pamijahan, kepercayaan masyarakat Pamijahan terhadap roh-roh gaib nenek moyang, penyembah pohon, batu-batu besar dan benda-benda lainnya atau yang disebut dengan animism dan dinamisme. Menurut sumber sejarah setempat, bahwa kedatangan Syekh Abdul Muhyi ke Pamijahan juga mendesak penduduk setempat yang memiliki ilmu Batara Karang yang bermarkas di dalam gua Safarwadi.
Proses Islamisasi di Pamijahan berlangsung bertahun-tahun. Karena ketabahan Syekh Abdul Muhyi, sedikit demi sedikit Islam dipeluk oleh berbagai kalangan. Karena akhlak yang baik seperti dalam sikap yang santun, berbicara dengan ramah dan dakwah dengan pendekatan persuasive, masyarakat menaruh simpatik kepadanya dan selanjutnya dengan sukarela mengikuti ajaran Islam dan menjadi murid Syekh Abdul Muhyi. Dalam menyebarkan ajaran agama Islam dia tidak memaksakan kehendaknya terhadap masyarakat. Hal ini terlihat, bahwa tidak semua masyarakat memeluk agama Islam secara spontan, walaupun pada akhirnya mereka harus pindah dari daerah tersebut karena terdesak oleh tradisi dan tata cara kehidupan Islam.
Metode dakwah Syekh Abdul Muhyi sama dengan yang dilakukan Wali Sanga. Oleh karena itu Syekh Abdul Muhyi dianggap sebagai seorang wali oleh masyarakat Jawa Barat. Bahkan tradisi setempat menyebutnya wali kesepuluh yang meneruskan tradisi Wali Sanga.
Dalam berdakwah, Syekh Abdul Muhyi menghadapi kendala geografis dan cultural. Untuk menghadapi kendala geografis, dia harus turun-naik gunung dalam menyebarkan agama Islam dari satu kampong ke kampong yang lain mengingat letak perkampungan daerah pegunungan. Priangan merupakan wilayah pegunungan dan mempunyai hutan yang sangat lebat. Untuk menghadapi kendala cultural, dia harus memodifikasi Islam sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Pamijahan yang sebelumnya sudah memeluk agama Hindu dan agama nenek moyang. Dalam menghadapi kendala cultural ini, Syekh Haji Abdul Muhyi tidak hanya mendapat reaksi positif dari masyarakat yang didatanginya, tetapi juga sekelompok masyarakat yang menghalangi misinya.
2.4 PENYEBARAN ISLAM DI CIAMIS
2.4.1 PANJALU
Menurut tradisi setempat, Prabu Sanghyang Borosngora adalah penyebar Islam pertama di Panjalu. Dialah yang telah meletakkan dasar untuk pengembangan agama Islam disana. Selanjutnya diteruskan oleh anak dan keturunannya. Penyebaran Islam di Panjalu tergolong cepat karena didukung oleh para mubaligh-mubaligh dari luar Panjalu. Menurut R.H Atong Tjakradinata, sesepuh adat Panjalu, ajaran Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat Panjalu karena ajaran Islam mencakup persoalan ketuhanan, kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesame manusia, dan dengan alam.
Proses pengembangan Islam di desa Panjalu menurut bapak R.H Atong melalui empat tahap. Pertama, tahap perkenalan agama Islam kepada penduduk setempat. Tahap pertama ini tentu dimulai oleh Prabu Sanghyang Borosngora setelah berguru ke Mekkah. Sejak itu, dia memperkenalkan ajaran Islam dengan mengajak orang satu persatu. Kedua, tahap penyiaran Islam secara masal dan terbuka kepada masyarakat. Setelah Prabu Borosngora mempunyai beberapa pengikut, beliau mengadakan tabligh dan pertemuan-pertemuan untuk memperdalam dan memperluas jangkauan dakwahnya.Ketiga, memperbesar pengaruh Islam kedalam berbagai aspek kehidupan dan berupaya mengurangi pengaruh ajaran agama sebelumnya. Di samping itu Prabu Borosngora memperlihatkan ilmu-ilmu yang bersumber dari Islam yang dapat mempertunjukkan kesaktiannya. Keempat, membina dan memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat Islam.
2.4.2 KAWALI
Untuk memerintah Kawali, Sunan Gunung Jati menempatkan Dalem Dungkut , anak raja Kuningan (Langlang buana). Pengangkata Dalem Dungkut di Kawali menjadi permulaan masuknya Islam di daerah Galuh-Kawali, Ciamis.
Pangeran Dungkut (1528-1575) diberi tugas oleh Kesultanan Cirebon untuk menjadi penguasa di Galuh Kawali menggantikan Prabu Jayadiningrat . Pangeran Bangsit (1575-1592) adalah putra pangeran Dungkut yang melanjutkan pemerintahan menggantikan ayahnya serta meluaskan ajaran agama Islam di daerah Kawali. Pangeran Mahadikusuma (1592-1643) adalah putera Pangeran Bangsit. Dia juga salah satu ulama yang dipercaya Cirebon untuk menyebarkan agama Islam di Kawali. Dari Kawali Islam kemudian menyebar ke daerah Ciamis lainnya.
2.4.3 KAWASEN
Penguasa Kawasen yang pertama kali membangun Kawasen berasal dari Galuh Salawe (sekitar Cimaragas sekarang), menantu dari Prabu Galuh Cipta Permana yang datang untuk menyebarkan Islam.
Tumenggung Sutapura adalah penguasa di kadaleman Kawasen yang terkenal setelah ayahnya, Dalem Kawasen. Kedaleman Kawasen pada awalnya merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh Garatengah. Raja Galuh Garatengah yang pertama memeluk agama Islam adalah Prabu Cipta Permana yang menikah dengan Tanduran di Anjung, yaitu puteri dari raja Kawali yang beragama Islam.
Pada masa pemerintahan dipegang oleh Sutapura, kedaleman Kawasen semakin berkembang, terutama dalam penyebaran agama islam. Selain itu, Sutapura juga terkenal gagah berani, hal ini dapart dibuktikan degan keberhasilannya dalam mengalahkan Dipati Ukur yang memberontak kepada Mataram. Dengan keberhasilan ini kemudian Sutapura memperoleh gelar Tumenggung Sutanangga I. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Tumenggung Sutanangga cukup berhasil, banyak penduduk yang semula menganut agama Hindu kemudian memeluk Islam. Begitu pula dalam hal perekonomian, penduduk Kawasen sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, keberhasilan pertanian di wilayah Kawasen karena ditunjang oleh daerahnya yang subur, serta cukup mendapatkan air sebagai penunjang utama pertanian, sebab daerah ini berada di daerah dekat gunung dengan aliran sungai yang tidak pernah kering. Penduduk Kawasen hidup rukun dan makmur, mereka sangat menghormai pimpinannya yan arif dan bijaksana.
2.5 PERKEMBANGAN ISLAM DI GARUT
Kean Santang
Kean Santang adalah putra Prabu Siliwangi. Dia terkenal gagah berani dan tidak ada seorang pun di Pulau Jawa yang dapat menandinginya. Pada suatu hari, Kean Santang menghadap ayahnya, yaitu Prabu Siliwangi untuk menyampaikan bahwa dia ingin melihat darahnya sendiri. Ayahnya tertegun mendengar keinginan anaknya itu. Diceritakan ada seorang kakek datang menghadap baginda dan mengatakan bahwa ada orang yang dapat memperlihatkan darah anaknya yaitu Baginda Ali yang berada di Mekkah. Kean Santang ingin mencari Baginda Ali ke mekkah dan setelah meminta izin ayahnya, Kean Santang berangkat menuju Mekkah.
Diceritakan paginya, Baginda Ali beangkat ke Masjidilharam dengan membawa tongkat. Diperjalanan dia bertemu dengan Kean Santang yang sedang mencari rumah Ali. Kean Santang menjelaskan bahwa dia berasal dari Jawa dan maksud kedatangannya adalah untuk mengajak Ali bertarung adu kekuatan. Baginda Ali berjanji akan mempertemukannya di hadapan Rsulullah, lalu dia mengaja Kean Santang untuk menemuinya. Dalam perjalanan, Baginda Ali teringat pada tongkat yang tertancap di tanah tempat tadi itu. Lalu dia menyuruh Kean Santang mengambilnya. Kean Santang mencoba mencabut tongkat yang ditancapkan tetapi tidak berhasil. Baginda Ali mencabut tongkat sambil mengucapkankalimah sahadat dan membaca salawat. Setelah mengetahui bahwa orang itu adalah Baginda Ali, Kean Santang pun menyatakan takluk dan kemudian mau memeluk agama Islam serta berganti nama menjadi Sunan Rahmat atau Sunan Bidayah. Nabi tetap member tugas kepada Kean Santang agar mengislamkan penduduk pulau Jawa.
\Kean Santang atau Sunan Rahmat mengislamkan rakyat yang ada di Batulayang, Lebak Agung, Lebak Wangi, Curug Dogdog, Curug Sempur dan Padusunan. Adik Sunan Rahmat diserahi daerah Curug Dogdog. Selanjutnya dia menyebarkan agama Islam di Malasari, Timbangantenan, Dayeuh Pangadegan, Dayeuh Tambaja, Cilageni, Cikupa, Sangkanluhur, Ciparay, Talaga, Cikaso, pagedeng, Dayeuh Manggung, Panggung, Lebak jaya dan Karangtenang, Sukapunten, Kedunghalang, Malere, Singaparna, Batununggal, Tawanggantungan, Cipatenggang, Cicarulang, Galuh, Parakan, Pageragung, Cikidang, Tegallaja, Panjalu, dan Cihaurbeuti.
2.5.1 LIMBANGAN
Menurut kepercayaan orang Limbangan sebelum Islam, Nyi Pohaci adalah Dewa pelndung padi. Menurut cerita rakyat, Nyi Pohaci berasal dari airmata Dewa Anta yang kemudian menjadi telur yang dipersembahkan kepada gurudan kemudian menetas menjadi anak perempuan yang cantik jelita. Sampai sekarang, pada sebagian masyarakat, masih ada yang percaya kepada Nyi Pohaci sehingga masih mengadakan ritual penghormatan dari mulai menanam sampai menuai padi.
Selain itu, masyarakat Limbangan sebelum mengenal Islam mempercayai makhluk halus, mempercayai bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan. Untuk menghormati makhluk halus dan benda yang memiliki kekuatan sering diadakan upacara khusus. Upacara itu dilakukan agar makhluk ataupun benda-benda yang memilki kekuatan mendatangkan berkah dan tidak menatangkan malapetaka. Sampai sekarang, tradisi tersebut masih dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat Limbangan. Untuk menangkal malapetaka dan untuk melindungi kampung diadakan penanaman kepala kambing ditengan perkampungan.
Dari uraian diatas, diketahui ajaran-ajaran Hindu dan kepercayaan kepada roh-roh pernah menjadi pegangan masyarakat Limbanagn. Setelah Islam diperkenalkan, ajaran Hindu dan kepercayaan yang diwariskan dari nenek oyang sedikit demi sedikit dapat dihilangkan. Meskipun mayoritas masyarakat Limbanann sudah memeluk agama Islam tetapi tidak semua unsur atau pengaruh ajaran-ajaran nenek moyang lenyap. Sampai sekarang masih ada sebagian kecil masyarakat melakukan tradisi upacara yang biasa dilakukan oleh masyarakat Limbangan sebelum Islam.
Adipati Liman Senjaya Kusumah
Adipati Liman Senjaya Kusumah adalah ulama dan penyebar ajaran islam periode awal di Limbangan. Dia mengajarkan ajaran Islam di keraton dan menyunat orang yang masuk Islam. Karena keluwesan dalam memimpin pemerintahan maupun sebagi tokoh agama yang mumpuni, akhirnya banyak rakyat bahkan para pejabat kerajaan yang tertarik dan akhirnya memeluk agama Islam.
Adipati Liman Senjaya Kusumah diperkirakan lahir pada tahun 1510. Angka tahun itu diperkirakan berdasarkan perhitungan berikut.Pertama, Adipati Liman Senjaya Kusumah pernah membantu Kean Santang (1425-1550) dan pernah menghadap Sunan Gunun Jati (1448-1568) untuk mendapat penghormatana atas jasa-jasanya dalam penyebaran agama Islam. Kedua, tahun lahir seseorang diperkirakan secara umum dengan selisih dua puluh tahun antara satu generasi yang satu dengan yang lainnya demikian juga tahun kelahiran Adipati Liman Senjaya Kusumah dapat diperkitakan dari tahun kelahiran Sunan Rumenggong (1450), lalu dari kelahiran Nyai Putri Buniwangi (1470), kemudian kelahiran Prabu Hande Limansanjaya (1490), maka kelahiran Adipati Liman Senjaya Kusumah dapat diperkirakan tahun1510. Jika angka tahun kelahiran ini dipegang maka ketika Sunan Cipancar menerima keris dari Kian Santang, dia sudah berusia 30 tahun sedangkan Kean Santang berusia 110 tahun. Peristiwa penyerahan keris dengan lafad Laa Iqrohaa fiddiin dari Kean Santang kepada Adipati Liman Senjaya kusumah pada tahun 1540. Pada usia 30 tahun, dia pantas menjadi pembela agama Islam. Demikian pula dia menghadap Sunan Gunung Jati, terjadi pada tahun sebelum Sunan Gunung Jati wafat (1568), katakanlah tahun 1560. Pada tahun 1560 Sunan Cipancar berusia 50 tahun. Kiraya wajar pula pada usia 50 tahun Sunan Cipancar sudah menjadi ulama cukup besar sehingga tergolong salah seorang pemimpin Islam yang di undang pada peremuan terbatas yang penting yang diadakan oleh Sunan Gunung Jati.
Dakwah Adipati Liman Senjaya Kusumah
Untuk mengajak orang memeluk agama Islam dan untuk mengambil simpatik masyarakat, Adipati Liman Senjaya Kususmah juga selalu menunjukkan akhlak yang baik dan selalu melakukan silaturrahmi. Dia selalu berupaya bertindak adil dan bijaksana meskipun sebagai penguasa dapat berbuat apa saja. Dalam mengatasi satu persoalan negara pun, dia selalu mengundang tokoh-tokoh agama Islam, para pendeta dan tokoh-tokoh masyarakat lainya untuk diajak musyawarah dan diminai pendapatnya. Dengan kebijaksanaan ini pula secara tidak langsung telah menarik masyarakat yang belum memeluk Islam tertarik pada agama Islam.
Strategi yang dilakukan oleh Adipati Liman Senjaya Kusumah untuk menarik simpatik masyarakat supaya memeluk agama Islam adalah mendatangi rumah dari pintu ke pintu. Dia senantiasa bersikap ramah dan lemah lembut tapi bukan berarti dia tidak bisa tegas bila diperlukan. Oleh karena itu dia menjadi pemmpin yang dihormati dan disegani.
2.5.2 CANGKUANG
Penyebaran Islam di Cangkuang, Leles Garut dilakukan oleh Arif Muhammad dan temen-temannya. Arif Muhammad berdakwah dengan arif dan bijaksana sehingga secara berangsur-angsur masyarakat setempat berpindah keyakinan dari Hindu ke Islam meskipun sebagian tradisi Hindu masih terus dilaksanakan seperti hari Rabu menjadi hari besar dan tradisi ini berlanjut sampai sekarang.
2.6 PERKEMBANGAN ISLAM DI MAJALENGKA
Sekitar abad ke-14 pada masa pemerintahan Ratu Simbarkencana, agama Islam mulai menyebar ke Majalengka yang dibawa oleh santri Cirebon. Ranggi Mantri atau Suan Parung Gangsa/Pucuk Umun Talaga ditaklukan oleh Cirebon pada tahun 1530, dan dia pun menjadi pemeluk Islam dan menjadi bawahan Cirebon.
Proses Penyebaran Islam
Daerah-daerah yang masuk daerah Kesultanan Cirebon, dan telah semuanya memeluk agama Islam ialah Pemerintah Talaga, Maja, dan Majalengka. Penyebaran agama Islam di Majalengka terutama didahului dengan masuknya para bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar lain diantaranya Dalem Sukahurang atau Syekh Abdul Jalil dan Dalem Panungtung menyebarkan agama Islam di Maja; Pangeran Suwarga di Talaga; Pangeran Muhammad dan Siti Armilah di Sindangkasih dan Sunan Rachmat di Bantarujeg.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Proses perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui gerbang Jawa Barat yakni Cirebon.
2. Penyebaran Islam melalui jalur perniagaan, sehingga tidak pernah terjadi agresi militer ataupun agama.
3. Pada perempat pertama abad ke-15 M, Pelabuhan Muhara Jati dan pasar Pasambangan sering disinggahi oleh para pedagang dari berbagai negeri atau daerah seperti Parsi, Arab, India, Pasai, dan lain-lain.
4. Penyebaran agama Islam pada tahap awal dilakukan pula oleh dua orang guru agama islam yang datang di daerah Jawa Barat yaitu Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Amparan Jati (daerah Gunung Jati sekarang)
5. Salah satu bukti yang menunjukkan ramainya kegiatan pelayaran di daerah pelabuhan Muhara Jati ialah didirikannya mercusuar di bukit Amparan Jati, suatu tempat tertinggi di dekat pelabuhan itu.
6. Daerah penyebaran Islam yaitu : Cirebon, Sumedang, Tasikmalaya, Panjalu, Kawasen, Ciamis, Garut, Majalengka, Kawali, Limbangan, Cangkuang.
DAFTAR PUSTAKA
Apipudin. Penyebaran Islam di Daerah Galuh. 2010. Bandung: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama
Mansur,Ahmad.Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia.1995.
Bandung: Mizan
Khalil, Ahmad. Islam Jawa. 2008. Yogyakarta: UIN Malang Press
Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. 2009. Jakarta: Pustaka Rizki Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar